Dari Sape-lah awal
Islam bersemi di Bima, yaitu ketika La Kai, seorang putra Mahkota kedua
kerajaan Bima, saat masih Hindu menyatakan keislamannya dihadapan ulama Islam
utusan Raja Gowa, Sulawesi Selatan. Keislaman
tersebut terjadi dalam pelariannya dari kejaran sang paman yang merampas tahta
kerajaan Bima dari mereka, para putra mahkota yang berujung pada kematian kakak
La Kai, ditangan pasukan sang paman, diperkirakan sang kakak meninggal dalam
padang safana, Wera tempat ia bersembunyi yang kemudian dibakar oleh pasukan
pamannya, karena itu sang kakak pun digelari dengan “Ruma Ma Mbora Di Mpori
Wera” atau Tuan yang hilang di padang rumput Wera.
Pasca keislamannya, La Kai yang kemudian bernama
Abdul Kahir berangkat ke Gowa untuk memperdalam Islam, selain itu, Abdul Kahir
bersama rekan-rekannya juga memperdalam ilmu kemiliteran sebagai persiapan
untuk mengambil alih kerajaan Bima dan mengislamkan masyarakatnya. Dengan
berbagai ilmu yang dia pelajari dan dukungan kerajaan Gowa yang juga mertua-nya
-setelah Abdul Kahir mempersunting salah seorang putrinya- Abdul Kahir
berangkat dengan sekelompok pasukan menuju Bima, dia menyerang kerajaan yang
dikuasai oleh paman yang telah merampas tahtanya dengan cukup sengit, sehingga
kerajaan Bima pun kembali dikuasai oleh pewaris tahta resmi.
Sebagai masyarakat yang taat sama pemimpin,
perubahan rezim dan agama yang dia anut pun diikuti oleh masyarakat Bima secara
umum, kecuali sedikit dari mereka kala itu.
Terkait dengan hal ini, SAPE kemudian masuk
sebagai bagian Wilayah kekuasaan yang mendapat hak istimewa, dibawah
kepemimpinan “Ruma Jara”.
Selanjutnya masyarakat Sape mewujudkan diri
sebagai masyarakat yang kuat memegang keyakinan Islam mereka, bahkan dari sana
banyak lahir para ulama yang langsung belajar Islam di Makkah dan Mesir, selain
itu masyarakatnya adalah para pemberani dan pantang mundur jika menuntut
keadilan dan membela kebenaran, terlebih setelah banyak terjadi pernikahan
antara masyarakatnya dengan masyarakat Bugis dari Gowa dan lain-lain, sehingga
dalam darah masyarakat Sape kini mengalir dua aliran darah yang dikenal ulet
dan pemberani, yaitu darah Bima dan Sulawesi.
Oleh karena itu, untuk menghadapi masyarakat
Sape, Bima, harus tahu betul alur dan kultur mereka, terutama dengan karakter
perlawanan yang ada dalam diri mereka. Cukuplah cara-cara kekerasan untuk semua
persolanan ini, kita ini saudara, kita bicara baik-baik sebagai saudara, karena
kekerasan terhadap masyarakat Sape, sama halnya dengan mengasah tajam mata
pedang dan memicu pergolakan lebih parah. Wallaahu a’lam bi ash showaab…!
Kakak dari La Kai (Abdul Kahir) yang meninggal di
padang Safana, Wera memiliki nama Jena Teke, yang kemudian diberi gelar Ruma Ta
Ma Mbora di Mpori Wera, sesuai dengan tempat dan cara beliau menemui ajalnya.
Karena kematiannya, pewaris tahta pun beralih kepada adiknya
La Kai dengan gelar Ruma Ta Ma Bata Wadu sesuai dengan keputusan Dewan Hadat. Orang tua dari La Kai dan Jena Teke bernama Raja Sawo, sementara paman dari keduanya yang merampas kekuasaan bernama Raja Salisi. Oleh karena itu, bagi Raja Salisi La Kai dan Jena Teke adalah musuh dalam selimut yang harus segera dienyahkan.
La Kai dengan gelar Ruma Ta Ma Bata Wadu sesuai dengan keputusan Dewan Hadat. Orang tua dari La Kai dan Jena Teke bernama Raja Sawo, sementara paman dari keduanya yang merampas kekuasaan bernama Raja Salisi. Oleh karena itu, bagi Raja Salisi La Kai dan Jena Teke adalah musuh dalam selimut yang harus segera dienyahkan.
Maka dimulailah upaya untuk menghabisi keduanya,
namun rencana jahat tersebut dibocorkan oleh para pejabat kerajaan yang masih
loyal kepada Raja Sawo, Bapak dari La Kai dan Jena Teke. Putra mahkota pertama,
Jena Teke dikejar hingga Wera dan meninggal dalam pelarian tersebut akibat
dibakar dalam padang safana yang luas. Sedangkan untuk pengamanan Ruma Ta Ma
Bata Wadu (La Kai), putra mahkota kedua, oleh La Mbila Manuru Bata, putra dari
Amalimandai (mantan ketua Dewan Hadat yang terbunuh oleh Raja Salisi akibat
menolak melantik Raja Salisi sebagai Raja Bima) menyembunyikan Ruma Ta Ma Bata
Wadu di sebuah desa bernama Teke, karena persembnyian ini juga ternyata
diketahui oleh Raja Salisi dan kaki tangannya, maka oleh Bumi Paraka, Ruma Ta
Ma Bata Wadu bersama pengikutnya dipindahkan lagi ke Desa Kalodu, Wilayah
Selatan Bima dan tinggal di sana untuk beberapa waktu.
Sebagai bukti tanda setia kawan untuk senasip dan
sepenanggungan, dengan tekad yang bulat untuk merebut kembali tahta kerajaan
Bima dari Raja Salis. Dalam kitab sejarah Bima yang dikenal dengan “BO” sumpah
ini disebut sumpah Hi’I Ro Ra’a (Bahasa Bima), Hi’i artinya daging dan Ra’a
artinya darah, jadi sumpah tersebut adalah sumpah darah daging.
Saat terjadinya perselisihan dan pertikaian yang
menyebabkan putra mahkota hidup di pelarian, datanglah perahu layar dari Gowa
dan tiba di pelabuhan Sape, Bima (Pantai Timur Bima) yaitu pada tahyn 1028 H.
Dalam pelayaran tersebut terdapat para pedagang dari Luwu, Makassar, Tallo dan
Bone, juga terdapat para ulama dan mubaligh dari Kesultanan Gowa. Sampai di
Sape, mereka menemui Ruma Jara sebagai penguasa Sape yang punya hubungan darah
dengan Bone untuk menyampaikan sepucuk surat dari sepupunya di Bone bernama
Daeng Malaba. Isi surat tersebut memberitahuan masuknya Islam di kerajaan Gowa,
Bone, Tallo dan Luwu serta seruan agar “Ruma Bumi Jara” juga mengikuti mereka
memeluk Islam.
Kedatangan rombongan pedagang dan ulama dari
Sulawesi ini tersiar hingga sampai kepada Ruma Ta Ma Bata Wadu (La Kai) di
pelariannya. La Kai dan pengikutnya melakukan musyawarah dan memutuskan untuk
dating ke Sape, mereka bertemu dengan para ulama Islam dan para pedagang di
kediaman Ruma Bumi Jara dan berdiskusi dengan mereka seputar Islam dan
perkembangan politik di Bima. Ternyata Ruma Ta Ma Bata Wadu tertarik sekali
dengan ajaran Islam yang dibawa mereka. Maka tepat pada tahun 1030 H mereka
masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat bersama-sama dengan Ruma
Bumi Jara. Dalam Kitab sejarah “BO” disebutkan: “Maka pada sepuluh lima hari
bulan Rabi’ul Awwal senat 1030, genap Raja berempat itu mengucapkan kalimat
syahadat dengan saksi keempat gurunya mubaligh itu”.
Setelah berislam, mereka mengganti nama:
La Kai Ruma Ta Ma Bata Wadu dengan nama Abdul
Kahir,
La Mbila dengan nama Jalaluddin,
Ruma Jena Jara Sape dengan nama Awaluddin, Manuru
Bata.
Setelah memeluk islam secara bersama-sama,
melahirkan persaudaraan atas iman diantara Ruma Ta Ma Bata Wadu dan dua anak
pejabat kerajaan lainnya, Manuru Suntu dan La Mbila Manuru Bata. Maka pasca
keempatnya dikhitan sebagai tanda keislaman mereka disebuah bendungan yang
bernama Raba Parapi, lahirlah sumpah setia atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Sumpah tersebut bernama “Sumpah Raba Parapi”, isi sumpah tersebut menurut
beberapa sumber adalah sebagai berikut:
1. Memperkukuh kesetiaan kepada putra mahkota La
Kai Ruma Ta Ma Bata Wadu (Abdul Kahir),
2. Seorang pun dari mereka tidak boleh tunduk pada pemerintahan siapapun, termasuk Raja Salisi,
3. Ana cucu dan keturunan mereka terikat dengan sumpah tersebut,
4. Jika ada yang melanggar sumpah tersebut sama dengan meminum racun.
2. Seorang pun dari mereka tidak boleh tunduk pada pemerintahan siapapun, termasuk Raja Salisi,
3. Ana cucu dan keturunan mereka terikat dengan sumpah tersebut,
4. Jika ada yang melanggar sumpah tersebut sama dengan meminum racun.
Setelah berbagai rentetan peristiwa ini, Ruma Ta
Ma Bata Wadu bersama pengikut beserta gurunya dari Gowa meninggalkan Raba Parapi
menuju tempat persembunyiannya di Desa Kalodu. Disana mereka mengadakan
pengislaman dan membangunkan Masjid bagi masyarakat Kalodu, sehingga Masjid
tersebut adalah masjid pertama dalam sejarah Islam di Bima. Setelah itu
Mubaligh dari Gowa bertolak kembali ke Makassar. Pada saat itulah Rumata Ma
Bata Wadu dan orang Islam lainnya meminta bantuan dari raja Gowa melalui para
mubalig untuk melawan pamannya, raja Salisi sebagai penguasa kerajaan Bima saat
itu. Dua tahun kemudian datanglah bantuan dari Makassar dan terjadilah
pertempuran antara putra Mahkota La Kai dengan raja Salisi. Selama dua kali
pertempuran La Kai mengalami kekalahan, pada saat kritis tersebut La Kai dan
rombongan berangkat ke Makassar melalui pelabuhan Sape. Di Makasar mereka
tinggal di istana dan belajar agama Islam dari Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri
Tiro (Khathib Sulaiman) sebagai penyiar Islam di yang terkenal di Sulawesi
Selatan kala itu.
Sedangkan La Mbila belajar ilmu kemiliteran dan
siasat perang dari Karaeng Bontonopo, panglima kerajaan Gowa. Baru pada masa
pemerintahan Malikus Said (1639-1655) yang terkenal keras dan taat beragama
memerintahkan La Mbila dan orang-orang Bima lainnya untuk kembali memerangi
raja Salisi di Bima. La Mbila berangkat dengan perlengkapan terdiri dari sepuluh
perahu persenjataan dan sepuluh perahu perbekalan. Pada pertempuran kali ini,
pasukan yang dipimpin oleh La Mbila memperoleh kemenangan, sehingga memaksa
raja Salisi sebagai penguasa Bima melarikan diri ke pedalaman dan terus dikejar
sampai ke Dompu hingga wafat.
Setelah berita kemenangan itu, barulah La Kai
dilepaskan oleh raja Gowa (sekaligus mertuanya setelah La Kai mempersunting
salah seorang putri Raja Gowa) bersama Ruma Bumi Jara, ikut serta dalam
rombongan mereka para mubalig (guru mereka) Datuk Ri Bandang dan Datuk Ri Tiro
untuk berangkat ke Bima untuk menyirkan Islam dan memegang kembali tampuk
kekuasaan kerajaan Bima dibawah naungan Islam. Rakyat Bima pun semua memeluk
Islam kecuali sedikit diantara mereka, sehingga dikenallah kerajaan Bima sebagai
sebuah kerajaan dengan sistim Kesultanan Islam dan La Kai menjadi Sultan Bima
pertama dengan nama Sultan Abdul Kahir.
Wallaahu a’lam bi ash showaab…!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar